kita butuh quota edisi revisi... setelah kulihat, ini posting kok jadinya panjang banget ya. buat yang mau baca, sebelumnya maaf ya:)
Nemu tulisan bagus ini pas lagi iseng2 blog walking. Wah, posting yang menarik sekali. Jadi pingin ikutan membahas perempuan (sebenernya sudah lama mau nulis ini, tapi ketunda terus;p). bedanya sama tulisan itu, yang mau kubahas disini itu tentang kuota di legislative (secara aku basicnya ilmu politik gituh)
Is quota necessarily needed? Sebenernya, kita butuh2 amat quota nggak sih?
Well, jadi begini, ada dua kubu, yang pro dan kontra quota.
Dasar dari mereka yang kontra quota adalah -apalagi kalau bukan- prinsip utama demokrasi, equal opportunity. Sejatinya, equal opportunity adalah kesempatan yang sama yang diberikan kepada setiap warga Negara, termasuk perempuan. Just so you know ya guys, perempuan di Indonesia itu termasuk kategori mereka yang beruntung karena Negara menjamin hak pilih mereka sejak pemilu pertama! Coba cari negara besar demokrasi manapun, hampir tak ada fakta sefantastis ini. So, secara teknis, wanita Indonesia punya start yang sama. Demokrasi itu mengatur PROSEDUR dan bukan HASIL. Equal opportunity dan freedom of choice adalah prosedur utama. Jika hasilnya perempuan memang ‘kalah bersaing’ dengan laki2, itu satu kondisi yang harus diterima. Lagipula, quota adalah bentuk peng-istimewa-an untuk perempuan, dan hal itu adalah diskriminatif untuk kalangan non perempuan (pria2 tulen dan pria2 yang mengaku perempuan dan tidak jelas kategorinya ;p). Di sisi lain, persoalan quota akan mereduksi hal2 lain - visi,misi,gagasan, wawasan dan kecapakan individual- yang nyata2 bisa jadi political consideration. Toh tidak ada bukti empiris bahwa keterlibatan perempuan akan otomatis memperbaiki citra dan kinerja institusi. Jika meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik adalah agenda utama, maka yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran dan kecakapan politik perempuan. Konstitusi sudah menjamin, start sudah sama, masa masih perlu diistimewakan?.
Sedangkan mereka yang pro quota mempunyai pandangan yang –tentu saja- lain. Satu, Demokrasi tidak melulu mengusung masalah prosedur tapi juga keterwakilan. Apa iya demokratis kalau setengah dari jumlah populasi tidak terwakilkan? (perempuan di Indonesia jumlahnya 52% dari total populasi kalo nggak salah). Penetapan quota justru harus dilihat sebagai upaya untuk menutupi kekurangan demokrasi. ya, you know lah, demokrasi kan seringkali meminggirkan kepentingan kelompok minoritas (minoritas dalam hal power lo, bukan kuantitas). Dua, quota bukan bentuk pengistimewaan atas perempuan tapi merupakan solusi dan bentuk recovery bagi perempuan. Memang secara teknis perempuan punya start yang sama dengan laki2. Tapi secara historis kan tidak. Kita (I mean, perempuan) kelewat lama hidup dalam system patriarki yang memarjinalkan perempuan. Jika system politik tidak didesain secara sengaja memasukkan perempuan, sampai 50 tahun lagi juga pasti masih begini keadaannya. Bagaimana dengan persaingan terbuka? Okelah equal opportunity, tapi ini sama saja dengan kasus david bertarung dengan goliath, atau pelanduk bertarung dengan gajah. I know there was a miracle. David won the battle. But here in real life, miracle is not PMS that comes monthly, regularly, and same for every women. While pelanduk? Well, it never to be seen that pelanduk defeats gajah (eh, pelanduk itu bentuknya kek mana sih? Haha, gak tau;p). um.. tapi ini bukan berarti mereka yang pro quota menganggap perempuan seperti pelanduk lo. It is just.. kind of analogy I guess.
Jadi begitu, pendapat yang sama reasonable-nya menurutku. Tapi, yang harus dilihat disini adalah, bisakah quota menjadi solusi? Menurutku, lepas dari semua plus-minus quota, kita memang butuh apa yang namanya special treatment buat perempuan. Nggak adil rasanya membiarkan fenomena politik yang tidak menyisakan ruang untuk perempuan. Dalam seleksi internal prtai politik misalnya, hampir tidak ada kebijakan untuk mengikutsertakan perempuan. Baru setelah ada UU no. 12/2003, partai menyertakan 30% quota dalam pencalonan caleg. Itupun dengan penempatan perempuan di nomor sepatu yang kecil tingkat keberhasilannya. Dan nyatanya, banyak juga partai yang nggak peduli sama quota karena UU tersebut tidak mengikat dan KPU sebagai pelaksana tidak berwenang memberikan punishment. Jadi bisa dibilang, parpol itu ogah2an banget mengurusi quota. Parpol gitu loh.. Kalau elemen terpenting saja tidak punya gender awareness, gimana sama yang lain? Makannya, menurutku, lepas dari kesan istimewa yang mungkin ditimbulkan, quota itu tetep penting, terutama di legislative. Membangun iklim politik yang women friendly kan baiknya dimulai dari badan perwakilan, biar efeknya menyebar ke yang lain. Semacam Spill over effect lah.. (ini apa ya?).
Sekarang ini, aku cukup senang kalo dimana2 mendengar perempuan yang kontra quota (terutama yang muda) bilang: itu artinya cewek dianggap nggak bisa bersaing. Padahal kita MAMPU kok. Under estimate banget. kita itu nggak butuh dikatrol2 segitu rupanya). Alhamdulillah, berarti kita makin tough. Tapi yang harus dipahami dalam konteks politik adalah, segalanya sangat complicated dan penuh intrik (ciee). Bersaing sama laki2 dalam masalah IPK atau ranking mah cincai. Tapi bu, kebayang nggak sih bersaing dalam perebutan kursi anggota legislative? Bok, susah tau! Akan makan banyak halaman kalau aku bahas bagaimana posisi calon perempuan, tapi intinya, tanpa external support seperti quota, akan sangat susah mengusahakan keterwakilan yang cukup di dewan. Duh, penting banget ya tu? Seperti yang sudah kubilang, cukup keterwakilan di dewan akan menciptakan iklim gender yang lebih seimbang. Lebih jauh lagi, ada korelasi positif antara keterwakilan perempuan dengan penurunan tingkat korupsi (Ann towns. 2003. Women Governing…). Itu memang nggak bisa dibuktikan secara mutlak, tapi contoh kasusistik di beberapa negara Scandinavia bisa lah dijadikan inspirasi.
Oke quota itu penting, tapi apa itu akan menyelesaikan problem secara tuntas? Ada baiknya kita menengok pada kasus Bangladesh yang perempuan di parlemen-nya dipanggil “30 sets of jewelries”. For me, the term of 30 sets jewelries is definitely disgracing and irritating. Tapi memang begitu kenyataannya disana, perempuan yang ‘didudukkan’ di parlemen kebanyakan adalah ibu rumah tangga dan istri elit yang rendah political will-nya. Kurasa, ada konspirasi deh untuk tidak menempatkan perempuan dengan background politik yang kuat (model begitu biasanya nyolotan sih). Kasus tadi jelas menunjukkan kalaupun jumlah minimum sudah terwakili, masalah tidak secara otomatis terhapuskan. Lha, kalau gitu, kenapa ngotot2 quota segala? Ya sabar dong bu…. Kita kan nggak mungkin ngarepin panen mangga hari senin sementara bijinya baru kita tanam hari ahad. It takes time and support. Keberhasilan swedia menjadi negara dengan tingkat kesejahteraan ibu-anak paling tinggi di dunia, misalnya, kan tidak dicapai dalam tempo ‘another blink of an eye’, sekedipan mata. Awalnya mereka juga kesulitan menerapkan quota. Setelah berhasil mencapai quota pun, wanita ‘Cuma’ ditempatkan di pos2 domestik; gizi dan kesehatan, reproduksi, dan pendidikan. Nggak ada kans untuk duduk di pos yang lebih strategis seperti financial atau international affairs. Tapi ternyata, itu ada hasilnya di bebarapa tahun kedepan. Swedia sekarang punya kebijakan yang friendly buat ibu2. Kemudahan cuti hamil, melahirkan dan tunjangan anak, misalnya, yang ujung2nya peningkatan SDM juga. Laki2 manalah kepikiran ngurusin undang2 cuti hamil. Nggak nyalahin, wong memang bukan fitrahnya. Itulah makannya perwakilan perempuan penting, biar kepentingan perempuan juga tersalurkan. Ini juga pelajaran moral buat para bapak. Kalo istrinya mau nyalon, mbok ya jangan langsung over reacted (nyalon caleg lo, bukan nyalon mau creambath.homonim banget nih. maaf ya). Perempuan punya naluri yang bakal tetep muncul dimanapun kok. This I know for certain.
Jadi, kalau aku harus mengambil satu kesimpulan, quota itu penting. Kepentingan perempuan perlu tersalurkan dan terpenuhi dengan baik. Soalnya, masalah perempuan itu banyak dan panjang efeknya. Kalau bisa sih, quota jangan dilihat sebagai bentuk pengistimewaan atas perempuan (meskipun kalau ada yang kekeuh berpendapat begitu ya monggo saja). Lebih realistis kalo quota dianggap sebagai recovery dan kompensasi atas marginalisasi perempuan yang sudah kelewat lama. Di lain sisi, quota juga bukan short cut untuk menyelesaikan masalah. It needs a lot more than quota to clean up the nation’s mess. Nah, quota itu stepping stone- nya saudara-saudara! Stimulant..dan bukan hasil akhir. Go women! Because it is not the prerogative of men alone to bring the light to the world…
(posting kali ini banyak di inspirasi sama paper NZZ tentang implementasi quota. despite her really messy attitude, i adore her so, haha)